Rabu, 11 Januari 2012

Sedikit-sedikit Antibiotik! Malah Gampang Sakit


Menggunakan antibiotika dengan sembrono sama saja dengan mengembang-biakkan bakteri super, yang kelak keganasannya tak akan mampu kita lawan lagi. Lalu, apakah konsep mengalahkan penyakit dengan antibiotik masih sahih?

Pemakaian antibiotik yang tidak rasional semakin mengkhawatirkan. Berbagai studi menemukan, sekitar 40 hingga 62 persen antibiotik digunakan untuk penyakit-penyakit yang tidak memerlukannya. Setiap minggu, di dunia tercatat rata-rata 2.645.000 resep antibiotik dari dokter kandungan dan 1.416.000 dari dokter penyakit dalam. Dari dua jenis spesialisasi ini saja, diperkirakan ada sekitar 211.172.000 resep antibiotik per tahunnya. Yang mencengangkan, suatu studi mencatat bahwa resep antibiotik yang diberikan dokter anak untuk kasus infeksi telinga saja, mencapai 500 juta dolar per tahun! Belum ditambah jenis penyakit lainnya.
Dibandingkan orang dewasa, anak-anak memang menjadi "korban" utama. Menurut penelitian US National Ambuilatory Medical Care Survey pada tahun 1989, sebanyak 84 persen anak-anak di dunia memperoleh antibiotik. Di Indonesia, data resmi mengenai penggunaan antibiotik memang belum ada.
Namun sebuah studi pernah dilakukan terhadap seluruh dokter umum dan apotek di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan mengungkap hal yang sama. Penelitian yang dilakukan oleh Prof dr Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD, dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, tersebut mengungkapkan, sebanyak 93 persen pasien anak yang menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) berupa batuk, pilek dan radang tenggorokan memperoleh resep antibiotik (Jurnal Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 29, tahun 1997).
Dalam studi lain, ditemukan jumlah 92 hingga 98 persen penderita ISPA non pneumonia, baik anak-anak maupun dewasa, mendapat setidaknya satu macam antibiotik setiap kali berobat ke puskesmas. Kondisi ini juga terjadi pada praktik dokter swasta, dimana persentasenya mencapai 82 hingga 89 persen.
Padahal, menurut kriteria World Health Organization (WHO), persentase pasien ISPA yang benar-benar perlu memperoleh antibiotik hanya berkisar antara 7 sampai 14 persen. Sebagian besar kasus batuk, pilek, demam ringan, serta radang tenggorokan umumnya tidak perlu obat, karena umumnya itu disebabkan virus yang akan membaik dengan sendirinya seiring meningkatnya daya tahan tubuh. Kalau pun perlu obat, hanya berupa obat-obatan simtomatik (untuk mengencerkan dan memudahkan pengeluaran dahak, menurunkan panas, melonggarkan saluran pernapasan, dsb) yang bertujuan meringankan gejala.
"Hal ini menjadi salah satu cermin bahwa pemberian antibiotik sudah berlebihan, dan keliru diberikan kepada mereka yang justru tidak memerlukannya," tutur Prof Iwan, sang peneliti yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM ini.
 
Pabrik obat, dokter, dan pasien ikut berperan
          Pemberian obat yang berlebihan memang bukan hal baru. Secara garis besar, hal ini disebabkan oleh tiga faktor.
          Pertama, membanjirnya obat dalam jumlah yang sangat besar. Di Indonesia, jumlah obat yang terdaftar mencapai sekitar 20.000 jenis dari industri farmasi. Mereka juga terhitung agresif dalam memasarkan produknya sehingga pertimbangan dokter dalam meresepkan obat berisiko kurang objektif. Keadaan ini diperparah dengan lemahnya pemerintah dalam menegakkan peraturan.    
Kedua,  dokter "ragu-ragu" dalam memberikan diagnosa, sehingga antibiotik diberikan untuk berjaga-jaga terhadap penyakit yang belum tentu ada. Secara tidak langsung, kebiasaan ini membuat pasien ikut tersugesti bahwa antibiotik adalah "obat dewa", sehingga sering menagih kepada dokter jika tidak diresepkan.
Ketiga, dalam keadaan sakit dan galau, umumnya pasien pasrah saja pada tindakan dokter. Selain itu pasien tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai gejala penyakitnya - misalnya pada waktu apa saja cairan pileknya berwarna kehijauan, hanya pagi hari atau sepanjang hari, dan sebagainya – juga kurang memperhatikan gejala fisik yang terjadi pada dirinya sendiri. Yang penting baginya periksa ke dokter dan diberi obat. Padahal, konsultasi medis sebenarnya merupakan "diskusi" antara dokter dan pasien untuk mencari penyebab terjadinya penyakit dan kemudian menentukan cara pengobatannya. Konsultasi juga tidak harus berujung pada secarik resep, karena terapi yang diberikan sangat bergantung pada observasi selama konsultasi.
Mengembangbiakkan kuman super
Penggunaan antibiotik yang sembrono pun akhirnya menimbulkan lingkaran setan. Karena bertindak seperti bom, bakteri "baik" yang ada di dalam tubuh kita ikut musnah. Posisi yang semula ditempati bakteri "baik" bisa diisi oleh bakteri "jahat". Fungsi-fungsi organ di dalam tubuh kita menjadi terganggu, karena kondisi mikroorganisme di dalam tubuh menjadi tidak seimbang.
Tidak mengherankan, beberapa hari setelah minum antibiotik sering ditemukan keluhan berupa sembelit, asam lambung meningkat, diare, lemas tanpa sebab yang jelas, keputihan, dan kekebalan tubuh yang menurun. Dalam kondisi yang demikian, tubuh menjadi lebih rentan kena alergi dan penyakit lain.
Konsumsi antibiotik yang dosisnya ngawur dan tidak dihabiskan juga akan membuat kuman menjadi familiar dengan jenis antibiotik tersebut, dan dengan mudah akan mengecoh dengan cara berubah bentuk (bermutasi), menjadi jenis yang lebih kuat dan tangguh (kebal). Jadi, bukannya membuatnya mati, antibiotik justru menjadi semacam "vaksinasi" bagi kuman-kuman tadi. Akibatnya, obat yang digunakan menjadi tidak mempan, dan diperlukan antibiotik lain yang lebih kuat. Lingkaran setan ini membuat penyakit semakin sulit dibasmi dan tubuh lebih gampang sakit-sakitan.
"Lebih celakanya lagi, sejak tahun 2007 yang lalu dunia telah memutuskan untuk berhenti memproduksi antibiotik. Proses pembuatan antibiotik yang sangat sulit dan mahal dinilai tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh, sebab ketika formula itu jadi, kuman-kuman yang semula menjadi target sudah keburu bermutasi," tutur Prof Iwan.
Jadi bisa dibilang, menggunakan antibiotika dengan sembrono sama saja dengan mengembang-biakkan bakteri super, yang kelak keganasannya tak akan mampu kita lawan lagi. Dengan kenyataan semacam ini, apakah konsep melenyapkan penyakit dengan antibiotik bisa terus dipertahankan? (N)
Penulis : Dyah Pratitasari

Simak artikel lengkapnya di Nirmala 11/Tahun 11, edar 1 November 2010

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar